Ambang Batas
Suasana di sebuah desa yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan buruh tani juga memiliki ternak dengan jumlah lebih dari 1, yang rata-rata ternak sapi. Sehabis adzan subuh berkumandang, semua paksaan pada ternaknya hingga memerah air susu. Kebanyakan dari mereka ternak sapi betina karna riskan untuk ternak sapi jantan, memang sapi jantan jika sudah siap potong harganya bisa lebih tinggi dari sapi betina. Namun saat ini riskan rasanya memelihara sapi jantan dengan risiko penyakit yang membuat sapi tidak bertahan. Jika sapi terkena penyakit tentu saja peternak rugi, dengan rata-rata pemeliharaan lebih dari 3 tahun untuk siap potong tanpa tambahan pemasukan dari air susu, pasti rugi. Sehingga banyak yang memilih ternak sapi betina dengan durasi siap potong 2,5 tahun dan setiap hari mendapatkan pemasukan dari air susu, meskipun dari segi harga tidak semahal sapi jantan.
Ternak sapi terlihat berat, peternak seolah-olah berkutit dengan keseharian sesuai alur, dari pagi sudah harus memerah air susu, dilanjutkan dengan mencari rumput, memberi makan, untuk makanannya pun tidak hanya rumput, juga ada tambahan makanan lain untuk mendukung air susu sapi agar lebih berkualitas dan banyak. Tambahan lain ketika harus membersihkan kandang, membuang kotoran sapi, sampai waktu mengharuskan peternak memerah susu kembali ketika sakit tiba.
Seperti itu kurang lebih keseharian peternak sapi di daerah tersebut, disela senggang, mereka bertani mengurus tanaman sayur mayur. Ada yang memiliki kebun sendiri, ada pula yang menjadi buruh tani di kebun orang. Tak jarang harga sayur mayur jatuh ketika panen tiba, atau cuaca yang sudah tidak bisa ditebak merusak hasil panen.
Bagiku yang sedari kecil bercita-cita punya kerja tetap, dengan cita-cita sederhana biar bisa nyicil beli rumah, dan skrng Tuhan kabulkan, rasanya Alhamdulillah sekali. Bekerja sesuai waktu dan porsi, masih bisa merasakan libur 2 kali seminggu, ada waktu kantor disertai istirahat yang manusiawi, ada kesejahteraan dan ketenangan, ada libur pemerintah kita pun manut.
Ambang batas.
Kalau lihat kehidupan peternak sapi tadi, berat, lelah, seperti menjadi “budak” sapi. Setiap hari menjalankan rutinitas itu-itu lagi, tidak ada libur, makan sapi harus terus berjalan setiap hari, sapinya harus diperah setiap 2kali sehari. Tidak ada liburan, tidak ada keluar rumah, apalagi tidak pulang untuk staycation.
Adalagi kehidupan yang lebih baik, bisa beli rumah cash tanpa cicilan, suami, istri dan anak masing-masing terfasilitasi kendaraan roda empat, menggunakan supir pula. Kalau soal liburan realisasi terlaksana lebih baik dari pada rencana, mainannya sudah luar negeri tanpa berfikir harga tiket pesawat, check in hotel ga perlu jauh jauh dari pusat kota / keramaian, langsung di pusat kota, masalah harga bukan lagi jadi sandungan. Liburan berhari-hari, kesana kemari, waw luar biasa ya terlihat sangat enak dan seperti sempurna.
Ambang batas.
Rejeki manusia memang beda-beda
ya, tapi semua sudah dicukupkan, ada mereka yang pendapatannya ga seberapa,
tapi cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan mereka tenang juga bahagia, ada yang
pendapatannya tinggi, tapi pengeluaran akan status social dan gaya hidup juga
tinggi, sehingga ya sama saja pengeluaran dan pemasukan ujung ujungnya sebatas
cukup. Ada sih yang berlebih, banyak. Tapi ketenangannya hatinya belum tentu
sama dengan mereka yang berkecukupan. Ambisi nya meraih sesuatu dan harus
tercapai juga beda, mungkin mereka yang dibatas bawah sudah tidak memiliki
ambisi apapun, hidupnya hanya untuk rasa syukur dan cukup, tapi mereka di atas
sibuk mengejar dunia, mengejar popularitas, masih saja kurang, padahal kalau
dipikir-pikir sudah lebih dari cukup dari mereka yang dibatas bawah.
Ya begitulah hidup sawang
sinawang.
Yang penting sudah memiliki rasa
cukup itu adalah rejeki tak terhingga, tidak semua orang dibekali rasa cukup.
Komentar
Posting Komentar